Senin, 08 Juni 2009




GO KWI-CU, seorang pangeran dari negeri Go hidup sejaman dengan Nabi Khongcu suatu ketika mendapat tugas sebagai duta ke negeri Cien, dan dalam perjalanannya melewati negeri Chi. Pangeran Negeri Chi menerima dan melayaninya dengan baik. Ketika itu Kwi-cu menyandang sebilah pedang, dan pangeran Negeri Chi nampak sangat menginginkan dan memilikinya, meskipun tidak mengatakannya.
Kwi-cu adalah seorang yang sangat peka perasaan dan yakin bahwa pangeran itu ingin memiliki pedangnya. Tetapi ia tidak dapat memberikan pedang itu kepadanya karena ia sangat memerlukan untuk perjalanannya ke negeri Cien. Ia menjanjikan kepada pangeran itu, bahwa pada saat ia pulang akan menghadiahkan pedang itu kepadanya.
Saat Kwi-cu usai menggenapkan missinya, ia pulang dan melewati pula negeri Chi, tetapi didapati pangeran itu telah mangkat. Kwi-cu lalu mengambil pedangnya dan memberikan kepada putera pangeran itu.Para pembantu yang mengikutinya dalam perjalanan mencegahnya dan berkata, ”Pedang ini adalah pusaka negeri Go kita, bagaimana Anda dapat memberikan kepadanya?”Kwi-cu menjawab, ”Ketika terakhir aku melewati tempat ini, Pangeran sangat memuji pedangku dan ingin memilikinya. Saat itu aku sangat memerlukan untuk perjalanan ke negeri Cien, maka aku tidak dapat memberikan kepadanya. Tetapi aku telah berjanji bahwa ia akan mendapatkan pedang ini dalam perjalanan pulangku. Aku harus memenuhi janjiku, biarpun ia sudah mangkat.”
Pembantu itu membantah, ”Tetapi ia sudah mangkat, mengapa Anda tetap akan memberikan kepadanya?”
“Aku tahu ia telah mangkat. Tetapi, kalau aku tidak memberikan kepadanya, aku berlaku tidak jujur, kepada diriku. Aku lebih memuliakan kehormatanku daripada pedangku.” Kwi-cu lalu menyerahkan pedang itu kepada putera pangeran itu, yang sebaliknya tidak mau menerima, dan berkata, ”Almarhum Ayahku tidak mengatakan sesuatu tentang pedang itu. Aku tidak berani menerima.”Kwi-cu lalu menggantung pedang itu pada pohon di samping makam pangeran dan melanjutkan perjalanan pulang. Rakyat negeri Chi sangat menaruh hormat kepada Kwi-cu, dan melantunkan nyanyian: “Pangeran Kwi-cu tidak melupakan kawan lama. Ia menggantung pedangnya pada pohon di samping makam pangeran.”
Pangeran Kwi-cu mempunyai pengetahuan yang luas tentang Lee/Kesusilaan, Nabi Khongcu sangat menaruh hormat kepadanya.
Sebagai seorang susilawan Pangeran Kwi-cu telah menunjukkan cinta kasihnya ketika mengetahui keinginan Pangeran Chi untuk memiliki pedangnya lantas berjanji untuk memberikan pedangnya. Ketika mengetahui Pangeran Chi telah meninggal dunia Pangeran Kwi-cu tidak mengurungkan niatnya untuk memberikan pedang itu, padahal mudah saja baginya untuk membatalkan niatnya. Demikianlah benih kebajikan Gi/Kebenaran, Keadilan, Kewajiban Pangeran Kwi-cu, sehingga sebagai seorang Pangeran yang berbudi luhur dapatlan dikatakan sebagai orang yang dapat dipercaya; sebagaimana dikatakan oleh Bing-cu sebagai berikut:
“Yang di dalam Watak Sejati seorang Susilawan/Kuncu ialah Cinta Kasih, Kebenaran, Kesusilaan, dan Kebijaksanaan. Inilah yang berakar di dalam hati, tumbuh dan meraga, membawa cahaya mulia pada wajah, memenuhi punggung sampai ke empat anggota badan. Keempat anggota badan dengan tanpa kata-kata daoat mengerti sendiri.” Bing-cu VIIA, 21-1
Dengan mengembangkan Cinta Kasih, menjunjung tinggi Kebenaran, berperilaku Susila serta bertindak Bijaksana maka terbentuklah manusia yang Dapat Dipercaya, dan hal tersebut perlu dilengkapi dengan Satya kepada Tuhan Yang Maha Esa agar senantiasa hidup selaras dengan yang di FirmankanNya.
Nabi Khong-cu.”Perkaataanmu hendaklah kau pegang dengan Satya dan Dapat Dipercaya; perbuatanmu hendaklah kau perhatikan sungguh-sungguh. Dengan demikian di daerah Ban dan Bekpun, tingkah lakumu dapat diterima. Kalau perkataanmu tidak kau pegang dengan Satya dan Dapat dipercaya, perbuatanmu tidak kau perhatikan sungguh-sungguh, sekalipun di kampung halaman sendiri mungkinkah dapat diterima ?” “Kalau engkau sedang berdiri, hendaklah hal ini kau bayangkan seolah-olah di mukamu, kalau sedang naik kereta bayangkan seolah-olah hal ini tampak di atas gandaran keretamu. Dengan demikian tingkah lakumu dapat diterima.” Lun Gi XV : 6;2.**

Senin, 01 Juni 2009



Minggu, 31 Mei 2009 , 17:03:00

“Diantara watak-watak yang terdapat antara langit dan bumi sesungguhnya manusialah termulia. Diantara perilaku manusia tiada yang lebih besar daripada Laku Bakti. Di dalam Laku Bakti tiada yang lebih besar daripada menaruh hormat dan memuliakan orangtua, dan hormat memuliakan orangtua itu tiada yang lebih besar dari pada selaras dan harmonis kepada Tuhan”. Xiao Jing; IX:2.

IBU SUN meninggal dunia ketika Sun masih kecil, ayahnya menikah lagi dan Sun tumbuh besar bersama ibu tiri dan adik tirinya. Ibu tiri Sun adalah seorang wanita yang mempunyai watak jahat dan egois. Ia memperlakukan Sun dengan jelek, bahkan memberi dorongan kepada adik tirinya Xiang untuk menyakiti kakaknya. Suatu ketika, ibu tiri Sun menganjurkan suaminya agar menyuruh Sun memperbaiki lumbung, ketika Sun berada diatas atap lumbung ia menyuruh ayah Sun mengambil tangganya dan membakar lumbung tersebut. Sun hampir saja tidak dapat menyelamatkan diri.
Sun sangat bersedih, ketika sedang mengerjakan sawah sering menangis sambil berseru kepada Tuhan Yang Maha Esa. Semua ini dikarenakan penyesalan Sun terhadap dirinya mengapa masih belum dapat diterima oleh orang tuanya. Tentang kebaikan dari Sun terdengar oleh Raja Yao, sehingga Sun diundang ke istana dan diberinya jabatan bahkan dijadikan menantu, namun semua penghargaan dari Raja Yao tidak membuat Sun menjadi sombong.
Pada kesempatan lain Sun disuruh memperbaiki sumur, ketika Sun sudah keluar (orang tua dan adiknya mengira Sun masih di dalam), adik tirinya menimbun tanah kedalam sumur untuk mengubur Sun hidup-hidup. Dikiranya Sun telah meninggal dunia dan adik tirinya Xiang mendatangi rumah Sun untuk merebut istri dan jabatannya, ternyata Sun berada di rumah sedang memainkan musik. Adiknya tersipu malu, tetapi Sun tidak menjadi marah melainkan menyambut adiknya dengan gembira.
Kebaikan Sun terhadap orangtua maupun adiknya tidak pernah berakhir, walaupun telah diperlakukan dengan tidak adil. Akhirnya ini membuat orang tuanya menjadi sadar. Hal tersebut membuat Sun merasa bahagia. Sebagai anak berbakti Sun merasakan apabila belum besesuaian dengan ayah dan bunda, ia masih merasa sebagai seorang miskin yang tidak mempunyai tempat kediaman untuk pulang. Riwayat Sun sebagai anak yang berbakti telah menjadi cerita klasik bagi anak-anak di Tiongkok, hampir setiap anak mengenal cerita tersebut.
Laku Bakti/ Xiao, mempunyai makna imani “Memuliakan Hubungan”. Hal tersebut dapat dilihat dari huruf Xiao dalam bahasa Tionghoa, yang terdiri dari dua bangunan huruf, dibagian atas huruf Lao, yang berarti tua, dan dibagian bawah huruf Zi, yang berarti anak, sehingga seakan-akan menggambarkan; “Anak mendukung/ menjunjung orang tua, sedangkan orang tua melindungi anak.” Secara bebas anak diartikan “hamba”(dalam mengabdi), sehingga secara umum Laku Bakti/ Xiao dapat diartikan “Memuliakan/ Pemulihan Hubungan” antara yang lebih “rendah” kepada yang lebih “tinggi”.
Kemudian kalau kita perhatikan huruf Jiao/ Agama merupakan gabungan huruf Xiao/ Laku Bakti dan Wen/ Ajaran. Sedangkan Wen mempunyai arti teori, ajaran, sastra, budaya. Dengan demikian terlihat bahwa Jiao dapat disimpulkan/ diartikan secara bebas sebagai: ”Agama adalah Ajaran tentang Menjunjung/ Memuliakan hubungan aspek kehidupan manusia sebagai kodrat yang difirmankan Tuhan Yang Maha Esa”.
Betapa luas dan dalam pengertian imani akan Laku Bakti itu, sudah terungkapkan makna dan hakekatnya melalui ayat diatas. Bahwasannya manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang termulia adalah mahluk yang lengkap terdiri daya hidup jasmani dan daya hidup rohani, dalam pengamalan dan penerapan bakti dikehidupan sehari-hari menurut ajaran Agama Khonghucu sungguh mencakup segala dimensi kehidupannya. Oleh karenanya sebagai manusia ciptaanNya wajib menempuh hidup selaras dengan FirmanNya. Ini adalah merupakan Perintah/ Hukum Suci Tuhan dimana manusia yang telah dikaruniai Kebajikan Tuhan/ Tian De haruslah senantiasa merawat dan mengamalkannya dalam kehidupan agar memperoleh kebahagiaan. Hal tersebut akan terungkapkan dalam sabda-sabda Nabi sebagai berikut:
“Sesungguhnya Laku Bakti itu ialah pokok Kebajikan; daripadanya ajaran Agama berkembang. Tubuh, anggota badan, rambut dan kulit, diterima dari ayah dan bunda; (maka), perbuatan tidak berani membiarkannya rusak dan luka, itulah pemulaan Laku Bakti”. “Menegakkan diri hidup menempuh Jalan Suci, meninggalkan nama baik di jaman kemudian sehingga memuliakan ayah-bunga, itulah akhir Laku Bakti. Sesungguhnya Laku Bakti itu dimulai dengan mengabdi kepada orang tua, selanjutnya mengabdi kepada pimpinan dan akhirnya menegakkan diri”. Xiao Jing; I : 4,5. **