Selasa, 26 Mei 2009

Asal Usul Tradisi Bacang (Hari Peh Cun)


Menurut penanggalan Imlek, tanggal 19 Juni adalah hari Duan Wu, mungkin kalau di Indonesia lebih dikenal sebagai hari Peh Cun yang terkenal akan Bacang-nya. Menurut tradisi orang Tionghoa, Peh Cun termasuk salah satu dari tiga hari besar orang Tionghoa selain hari raya Imlek dan hari raya Tiong Jiu (kue bulan).

Walaupun perayaan ini sudah berlangsung, tidak ada salahnya kita mengenal lebih dekat tentang makna dan latar belakang hari besar budaya Tiongkok ini.

Duan 「端」adalah singkatan dari Kai Duan「開端」 yang bermakna awal Chu「初」, orang zaman dulu menyebut tanggal 1 sebagai Chu Yi 「初一」, maka tanggal 5 sebagai sinonimnya: Duan Wu 「端五」. Orang kuno juga biasa menyebut 5 / Wu seba gai siang hari Wu Ri 「午日」, maka dari itu bulan 5 tanggal 5 juga dinamakan Duan Wu 「端午」.

Mengenang Qu Yuan

Kebiasaan adat istiadat yang berkaitan dengan hari Duan Wu tidak sedikit, mengenai asal usulnya terdapat tidak hanya 1 dongeng saja, umumnya diperkirakan hari Duan Wu berawal dari peringatan Qu Yuan (baca: chu yuen) hingga tersebar luas. Konon pada masa Zhan Guo (Negara Saling Berperang, tahun 403 – 221 SM), Raja Chu Huai menolak prakarsa Qu Yuan untuk berkoalisi dengan Negara Qi dan berperang melawan Qin, namun diperdayai oleh Zhang Yi ke Negara Qin, ia dipaksa merelakan wilayah berikut kota-kotanya. Raja Qu Huai selain merasa dipermalukan juga terhina, menjadi risau hatinya dan tak lama terserang penyakit dan mangkat di Negara Qin.

Qu Yuan

Qu Yuan yang setia lagi-lagi mengusulkan secara tertulis kepada sang pengganti: Raja Qing Xiang, dengan harapan beliau bisa menjauhi para pejabat pengkhianat, akan tetapi Raja Qing Xiang selain tidak bisa menampung aspirasi tulus Qu Yuan, malah membuangnya. Negara Qin melihat peluang sudah matang dan dengan segara mengirimkan bala tentara, dalam waktu singkat maka Negara Qu telah kehilangan sebagian besar teritorialnya, rakyatnya dibantai. Qu Yuan yang masih setia, menyaksikan semuanya ini, hatinya bagaikan teriris, dalam kesedihan yang amat sangat maka pada tahun 278 SM, kalender Imlek tanggal 5 bulan 5, dia bunuh diri dengan menceburkan dirinya ke Sungai Mi Luo.

Para nelayan mendengar berita tersebut menggunakan perahu berusaha meng entas jenazah Qu Yuan namun gagal, maka akhirnya mereka berbondong-bondong menceburkan makanan ke dalam sungai, dengan harapan agar para ikan, udang dan kepiting sesudah makan kenyang tidak sampai mengganggu jenazah Qu Yuan. Dongeng tersebut secara cerdik dan pas dikaitkan dengan tradisi makan kue Bacang, lomba perahu naga dan lain sebagainya dengan meloncatnya Qu Yuan ke dalam sungai.

Hari Raya Naga

Cendekiawan patriot terkenal, Tuan Wen Yiduo di dalam tesisnya “Kajian Duan Wu” berpendapat: Suku bangsa kuno Yue menjadikan naga sebagai totem mereka, kala itu karena orang-orang merasa terancam kekuatan alam, beranggapan suatu makhluk memiliki kekuatan alami supranatural, oleh karena itu menganggap makhluk-makhluk tersebut adalah leluhur dan dewa pelindung seluruh suku mereka, yang di zaman kini disebut se bagai “Totem Naga”.

Maka mereka menato makhluk berupa naga pada tubuhnya dan di atas peralatan sehari-harinya, agar memperoleh perlindungan dari Totem Naga, demi menunjukkan bahwasanya mereka berstatus “anak naga”, mengokohkan hak dilindungi bagi dirinya sendiri. Mereka tidak saja bertradisi memotong rambut dan menato tubuh, bahkan pada setiap tanggal 5 bulan 5 kalender Imlek, mengadakan sebuah persembahan besar Totem Naga. Di antaranya terdapat permainanyang mirip dengan perlombaan pada dewasa ini, itulah asal usul tradisi lomba naga ketika dimulai.

Namun lomba perahu naga bukan hanya adat istiadat orang Yue, tapi suku bangsa lainnya juga memiliki kebiasaan itu, di dalam penemuan benda-benda kuno zaman Zhan Guo dapat terlihat sedikit kecenderungan tersebut, waktu terselenggaranya lomba perahu naga juga sama.

Kebiasaan hari Duan Wu

Berdasarkan catatan sejarah, jauh pada zaman Qun Chiu (Tahun 722 – 481 S.M.), menggunakan daun untuk membungkus beras dijadikan berbentuk tanduk sapi juga ada yang menggunakan tabung bambu diisi beras ditutup rapat dan dipanggang sampai matang, disebut “Bacang Tabung”. Ini boleh dibilang adalah cikal bakal kue Bacang.

Pada bulan 5 (kalender Imlek), saat musim panas memakan kue pendingin tubuh terbuat dari beras, yang dibungkus dengan daun dan dimasak sampai matang, aroma wanginya terasa unik, sesudah menyantapnya bisa menetralisir panas-dalam dan menurunkan sifat api dalam tubuh, terasa nyaman bagi pencernaan, sungguh suatu makanan yang sesuai dengan musimnya. Pada saat itu, orang-orang berganti busana musim kemarau dan mengutamakan yang serba ringan dan sejuk. Dilihat dari tradisi berpakaian dan makananya, hari Duan Wu dianggap ada hubungan yang akrab dengan tibanya musim kemarau, tentu ada benarnya juga
AGAMA KHONGHUCU INDONESIA
oleh : Ws Dr Oesman Arif, MPd ( Liem Liang Gie )


Agama Khonghucu pertama kali diajarkan oleh Nabi Khongcu kepada rakyat Tiongkok pada abad VI sebelum Masehi, melalui sekolah yang didirikan oleh Nabi Khongcu sendiri. Setelah nabi Khongcu wafat (479 SM), di Tiongkok juga didirikan tempat ibadah agama Khonghucu yang disebut Wen Miao atau Kongzi Miao. Sesuai dengan ajaran agama Khonghucu yang tertulis dalam Kitab ajaran Besar (Da Xue) bab Utama, lembaga agama Khonghucu yang paling kecil adalah keluarga. Semua orang wajib membina keluarganya dengan baik sesuai ajaran agama Khonghucu. Lembaga agama Khonghucu yang lebih besar adalah negara, umat agama Khonghucu wajib menjadi warga negara yang baik, yang patuh kepada undang-undang serta memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Lembaga agama Khonghucu yang paling tinggi adalah dunia. Dalam Kitab Ajaran Besar tertulis: membina diri, membina rumah tangga, mengatur negara, dan menjaga perdamaian dunia.

Penyiaran agama Khonghucu melalui sekolah formal dan perguruan khusus untuk mendidik agama Khonghucu, semacam pesantren disebur Shuyuan. Kelenteng disebut Miao menjadi tempat ibadah agama Khonghucu dan juga menjadi lembaga pembinaan umat Khonghucu di luar sekolah. Pada zaman dahulu belum ada organisasi keagamaan Khonghucu secara khusus karena negara langsung membina umat agama Khonghucu. Kaisar Tiongkok juga menjadi pemimpin agama Khonghucu karena agama Khonghucu juga resmi menjadi agama negara.

Penyebaran agama Khonghucu ke Nusantara dilakukan oleh orang-orang Tionghua yang merantau. Mereka mengajarkan anak-anak mereka untuk melakukan ibadah dan mempelajar ajarani agama Khonghucu secara turun menurun. Apabila dalam suatu kota cukup banyak penduduk Tionghua yang berhasil usahanya mereka mendirikan kelenteng untuk tempat ibadah bersama. Ada juga orang Tionghua yang beragama Tao dan Buddha ikut bergabung mendirikan kelenteng. Kelenteng-kelenteng di Indonesia pada zaman dahulu pada umumnya didirikan oleh umat agama Khonghucu, umat agma Tao dan umat agama Buddha Tiongkok secara bersama, dan digunakan secara bersama. Pada zaman itu belum ada lembaga agama Khonghucu, atau lembaga agama Tao, dan agama Buddha Tiongkok seperti zaman sekarang.

Pada akhir abad XIX dan awal abad XX muncul usaha mendirikan lembaga agama Khonghucu secara formal dengan mendirikan sekolah formal di seluruh dunia, termasuk di wilayah Hindia Belanda. Usaha itu tidak sepenuhnya berhasil. Sekolah Tionghua Hwee Koan yang semula untuk mengajarkan ajaran agama Khonghucu berubah menjadi sekolah umum, bukan sekolah agama. Sekolah Tionghua Hwee Koan ini berhasil menarik anak-anak Tionghua di wilayah Hindia Belanda belajar bahasa dan kebudayaan Tionghua. Pemerintah kolonial Belanda khawatir adanya dampak yang merugikan stabilitas saerah jajahannya, lalu mendirikan sekolah Belanda untuk orang Tionghua disebur HCS dan sekolah untuk orang Indonesia dengan sebutan HIS. Sebelumnya, pemerintahan penjajah Belanda tidak pernah memikirkan pendidikan untuk rakyat Indonesia. Berdirinya Tionghua Hwee Koan di wilayah Hindia Belanda memkasa pemerintah penjajah Belanda membuka sekolah bagi penduduk Tionghua dan penduduk Indonesia.

Kegagalan sekolah Tionghua Hwee Koan menjadi sekolah khusus agama Khonghucu mendorong tokoh-tokoh agama Khonghucu di berbagai Kota mendirikan lembaga agama Khonghucu di kota masing-masing. Pada tahun 1923 pertama kali didirikan lembaga agama Khonghucu tingkat nasional disebut Khong Kauw Cong Hwee, pusatnya di Yogyakarta. Organisasi Khong Kauw Cong Hwee ini tidak lancar, artinya tidak membawa hasil yang nyata karena berbagai faktor. Pengaruh dari Perang Dunia I dan Perang Dunia II mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Kondisi politik dan ekonomi yang buruk pada masa-masa itu menyebabkan orang tidak tenang. Pada saat ini aktivitas agama Khonghucu hanya terbatas pada tempat-tempat ibadah dan sekolah khusus agama Khonghucu yang telah didirikan di beberapa kota.